Halaman

Cari Blog Ini

Google Translate

Minggu, 23 September 2012

Kapten Raymond Westerling sang pembantai Puluhan Ribu Manusia


Kapten Raymond Westerling. Di negerinya,Belanda, dia adalah pahlawan. Tapi kita,bangsa Indonesia, tidak akan pernah lupa dengan kekejian yang dilakukannya. Diperkirakan puluhan ribu nyawa melayang karena aksinya.Sepanjang 1946-1947, Westerling memimpin Depot Speciale Troepen (Depot Pasukan Khusus) pada masa Agresi Militer Belanda. Selama itu pula, ia membantai
penduduk sipil di Sulbar dan Sulsel.“Belum ada hitungan resmi mengenai jumlah korban,laporan perwakilan Indonesia di PBB korban Westerling di Sulawesi 40 ribu orang, tapi bisa sampai
jutaan kalau seluruh Indonesia,” kata Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara Hutagalung kepada majalah detik.

Sejak Juni 2012, Batara bolak-balik ke Sulbar. Diwilayah itu, ia menelusuri sejumlah tempat seperti Majene dan Galung Lombok, yang pernah menjadi ajang pembantaian oleh Westerling dan pasukannya.Galung Lombok adalah daerah yang paling menderita oleh aksi polisional (politionele actie) Belanda itu.

1 Februari 1947 malam hingga 2 Februari keesokan harinya, serdadu Westerling merangsek ke desa di
Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar,tersebut.Dengan dalih memburu pejuang, Depot Speciale Troepen alias DST menggiring ribuan penduduk setempat dan desa-desa di sekitarnya antara lain Majene,Tinambung, dan Renggeang. Di sebuah alun-alun,mereka diperlihatkan puluhan mayat pejuang yang dicap sebagai pembangkang Belanda. Mendengar isu ada tentara Belanda yang dibunuh, sore hari kerumunan manusia itu diberondong dengan senapan otomatis. Korban berjatuhan, saling tumpang tindih dalam genangan darah. Konon, korban tewas dalam peristiwa itu berjumlah 300-400 orang. Sebagian
selamat karena berpura-pura mati. Korban yang masih hidup itulah yang berusaha ditemui
Batara. Setelah data para korban itu terkumpul, rencananya akan diajukan gugatan kepada pengadilan
sipil di Belanda. “Seperti gugatan janda-janda Rawagede,” ujar Batara.

KUKB sebelumnya memenangkan gugatan para janda korban kekejian Belanda di daerah yang kini bernama Balongsari, Karawang, Jawa Barat, 9 Desember 1947, itu.64 Tahun berlalu, Belanda akhirnya meminta maaf dalam sebuah upacara mengharukan di Rawagede. Belanda juga memberikan kompensasi 20 ribu euro kepada enam janda Rawagede yang masih hidup.
Menurut Batara, keberhasilan gugatan Rawagede menunjukkan kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan, serta Agresi Militer Belanda antara tahun 1945-1950 masih dapat dibuka kembali. Tak ada kata kedaluwarsa. Selain Westerling, ada beberapa peristiwa yang masih bisa digugat, seperti Gerbong Maut di Bondowoso dan pembantaian di Kaliprogo.Untuk Westerling, Maret 2012 lalu, KUKB juga telah
melaporkan salah satu anak buah Westerling yang masih hidup, Herman van Goethem, ke Kejaksaan Arnhem. Pengakuan Goethem atas pembantaian massal, yang disiarkan sebuah televisi Belanda menjadi bukti.Pelapor adalah ahli waris korban Westerling. Pada Juli 2012, publik Belanda dikejutkan oleh sebuah foto lawas tentang pembantaian massal di Indonesia. Foto yang dipungut dari tempat sampah itu berasal
dari album pribadi Jacobus R., prajurit Belanda yang ikut wajib militer ke Indonesia. Meski kontroversi,
sejarawan Universitas Indonesia (UI), Anhar Gonggong mengatakan foto itu kemungkinan adalah pembantaiandi Sulsel.

Westerling,kelahiran Turki, memang dikenal sebagai tentara berdarah dingin.“Kemungkinan besar peristiwa Westerling. Korban yang mengelilingi lubang, saya kira ada benarnya,” ujar Anhar kepada majalah detik. Ayah Anhar sendiri adalah korban Westerling. Bersama pamannya, jenazah ayahnya dimasukkan ke dalam satu lubangsetelah dibunuh.Westerling, kelahiran Turki, meninggal tahun 1987,memang dikenal sebagai tentara berdarah dingin. Sejak mendirikan markas di Mattoangin, 5 Desember 1946, Westerling mulai melakukan operasi dengan strategi Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan). Anhar mengatakan, yang lebih penting dari menggugat Belanda sebetulnya adalah pengakuan kemerdekaan Indonesia de jure 17 Agustus 1945. Sampai saat ini, Belanda masih mengakui kemerdekaan Indonesia adalah tanggal 27 Desember 1949, ketika mereka menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).
Batara juga menyadari hal itu. Belanda selama ini menolak mengakui kemerdekaan RI 17 Agustus 1945,


karena kalau begitu, Agresi Militer I dan II di Indonesia akan masuk kategori kejahatan perang. Belanda baru mengakui tanggal itu secara de facto pada 16 Agustus 2005 lalu. Pada 18 Agustus 2012 lalu, KUKB kembali mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mereka meminta Indonesia menghentikan hubungan diplomatik dengan Belanda bila tak mengakui kemerdekaan Indonesia dan tak mau bertanggung jawab atas pembantaian massal selama Agresi Militer. “Pengakuan de jure kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 juga masalah martabat bangsa,"ucap Batara"

(Majalah Detik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar